Lambang PSSI
Pada era 1960-an sampai medio 1970-an, kesebelasan Indonesia memang menjadi kesebelasan elite Asia kalau tak boleh dijuluki
“Raja Asia” , yang sangat dihormati oleh kesebelasan-kesebelasan di Asia bahkan Eropa. Padahal modal kas PSSI semata-mata dari keuntungan bersih jualan karcis di stadion Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, manakala Indonesia melawan tim-tim kelas dunia seperti Dynamo Moscow, Dynamo Kiev (dahulu masih Uni Soviet), Santos, Cruzero, Sao Paolo (Brazil), Independiente (Argentina), Cosmos dan Washington Diplomat (USA) dan lain-lain.
Saingan berat Indonesia di Asia hanya Israel (belum masuk zona Eropa), Iran dan Burma (sekarang Myanmar). Jepang dan Korea Selatan yang menjadi langganan Piala Dunia sekarang ini, biasa dipermak habis Indonesia dengan minimal skor 3-0. Bahkan Timnas Taiwan dicukur Indonesia dengan skor telak 11-1 di Piala Merdeka Games, Malaysia, tahun 1968. Jangan tanyalah timnas Thailand, Vietnam dan Singapura karena ketiganya nggak level disandingkan dengan Indonesia. Terlebih negara-negara di jazirah Arab, bahkan mereka “belum tahu cara bermain bola”, maklumlah federasi sepakbola pun mereka belum punya.
Bayangkan saja sejak Piala Merdeka Games yang sangat prestisius di Asia pertama kali diadakan sejak 1954 dan Indonesia yang pertama kali menjuarainya, kemudian Indonesia memenanginya kembali pada tahun 1960, 1961, 1962 dan 1969 (dan tahun-tahun yang hilang di Merdeka Games karena Indonesia sedang berkonfrontasi dengan Malaysia). Rute emas kejuaraan yang dimenangi Indonesia selalu dimulai dari kota Dacca (ibukota Pakistan Timur ketika itu, sekarang ibukota Bangladesh) dimana ada turnamen Agha Khan Gold Cup. Indonesia menjuarai piala Agha Khan ini sejak 1961, 1966, 1967, 1968 dan 1979 (tahun-tahun lainnya Indonesia adalah juara 2). Kemudian tim Indonesia turun ke Bangkok untuk menjuarai King’s Cup dan Queen’s Cup pada tahun 1968 dan 1971 (tahun-tahun lainnya Indonesia selalu lolos ke final). Kemudian timnas Indonesia memenangi Piala Sukan Singapura, bahkan menciptakan All Indonesian Final antara Indonesia A dan Indonesia B pada tahun 1972. Dan terakhir tentu saja main di kandang pada Jakarta Anniversary Cup, yang terakhir dijuarai pada tahun 1972 dengan menundukkan timnas Korea Selatan dengan skor 4-2.
Atas supremasi kesebelasan Indonesia itulah akhirnya Indonesia diminta AFC (Asia Football Confederation) mengirim 5 pemain nasionalnya untuk mengisi skuad “Asia All Stars”. Mereka itu adalah Soetjipto Soentoro (penyerang lubang sekaligus bertindak sebagai kapten), Yacob Sihasale (penyerang tengah), Iswadi Idris (sayap kanan), Abdul Kadir (sayap kiri) dan Yudho Hadianto (penjaga gawang). Sebenarnya AFC berniat memanggil pemain Indonesia lebih banyak lagi seperti stopper Anwar Udjang dan Mulyadi serta gelandang Basri dan Aliandu. Ttetapi AFC tentu saja harus bertindak adil dengan memanggil pemain Asia lainnya meskipun hanya masing-masing satu orang saja.
Apa keunggulan pemain-pemain Indonesia ketika itu? Indonesia memiliki penjaga gawang “sangat kebal” seperti dinobatkan oleh koran “Utusan Malaysia”, Kuala Lumpur dan “Bangkok Post”, Bangkok pada diri Yudho Hadianto. Fisik Yudho sebenarnya tidak terlalu tinggi tetapi dia mampu bermain akrobat yang sangat memukau dengan tetap tak kehilangan akurasinya. Yacob Sihasale adalah striker oportunis dengan sundulan kepala yang sangat luar biasa keras dan terarah disamping kemampuan dribbling, screening dan tendangan yang akurat. Iswadi Idris adalah seorang pemain penuh percaya diri sehingga mampu menggiring bola tak pernah putus melampaui pemain belakang lawan sebelum mengumpan tarik ke striker Yacob Sihasale. Abdul Kadir adalah pemain sayap kiri tercepat di Asia dalam membawa bola maupun tanpa membawa; umpan-umpan dari Kadir inilah menjadi santapan empuk bagi striker Yacob dan second striker Soetjipto Soentoro untuk menciptakan gol-gol spektakuler yang tidak bisa dilihat pada setiap pertandingan. Dan Soetjipto Soentoro tentu adalah pemain istimewa yang pernah dilahirkan Indonesia. Ballskill Soetjipto sangat sempurna; kemampuan menjaga bola (screening) sangat sempurna pula sehingga setiap lawan yang akan merebut bola darinya akan berbuah pelanggaran; tendangan sangat keras dan terarah dari berbagai sudut sempit sekalipun; kemampuan mengecoh dua-tiga pemain belakang sering menjadi makanan hampir pada setiap pertandingan karena memiliki kemampuan “menyulap” bola demikian cepat dan tak terduga. Namun di atas segalanya, Soetjipto memiliki jiwa kepemimpinan, kepercayaan diri dan mentalitas bertanding sangat tinggi sehingga bisa mengangkat permainan tim dalam situasi tertekan sekalipun.
Selengkapnya inilah “Tim Impian Indonesia” yang diyakini oleh penulis bakal “Lolos” ke Piala Dunia seandainya para pemain-pemainnya masih berkumpul utuh seperti di jaman kejayaan Indonesia dulu:
Penjaga gawang: Yudho Hadianto, Yus Etek, Ronny Pasla
Belakang: Yuswardi, Sunarto, Reny Salaki, Mulyadi, Anwar Udjang, Masri, Ishak Udin, Makful, Ronny Pattinasarani, Johanes Auri
Gelandang: Aliandu, Surya Lesmana, Basri, Fatah Hidayat, Bob Hippy, Djunaedi Abdillah, Nobon, Anjas Asmara, Mettu Duaramuri
Depan: Soetjipto Soentoro (Kapten), Yacob Sihasale, Komar, Andjik Alinurdin, Omo, Wowo, Iswadi Idris, Abdul Kadir
Pelatih: Tony Poganik (Pelatih Utama), EA Mangindaan, Endang Witarsa (Asisten Pelatih)
Tim Indonesia tahun 60-an.
Ramang(pemain sepakbola tahun 60-an)
sumber: www.kaskus.us
0 comments:
Posting Komentar
Sisihkan sedikit waktu Anda, untuk berkomentar :D